Biar Jualan Saridele, yang Penting Iman Tak Tergadai.
BAMBU. Sutarto, akrab dipanggil Atok, adalah pria kelahiran Wonogiri sekitar 37 tahun silam. Bapak satu anak ini sudah merantau dari tanah kelahirannya sejak tahun 2005. Gedangan jadi tempat tujuan pertama kali demi mengadu nasib. Tanpa ketrampilan memadai juga tanpa pendidikan yang memadai, yang ada bondo nekat. Setelah mencari info lowongan, ia dapat info di paris blok A ada pembuat saridele yang butuh pekerja. Atok pun tawarkan diri dan kemudian bekerja di dunia pembuatan dan penjualan saridele.
Bangun malam olah saridele, pagi siang jualan sudah biasa. Akhirnya, dua tahun kemudian dia beranikan untuk usaha mandiri. Maksudnya, membuat dan menjual sendiri. Namanya usaha tentu tidak mudah memulainya. Setelah menahan capek bangun malam, Atok harus giat berkeliling kesana kemari cari pelanggan. Mengendarai gerobak roda tiga, tiap hari dikayuh tidak kurang dari 12 KM PP. Sebab, setelah menikah Atok menetap di desa Bohar (bunderan aloha ke arah barat). Sementara tempat jualannya di pasar gedangan.
Tak terasa sudah 12 tahun hingga anaknya sekarang sudah kelas 1 SD. Selama itu pula, Atok terbiasa bangun jam dua malam. Sebab, start jam tersebut dia mulai memasak 2 kg kedelai yang sebelumnya telah direndam 8 jam sejak magrib. Setelah dimasak sekitar satu jam, kedelai dicuci, trus diblender, dicampur dalam air untuk kemudian digodok lagi hingga jadi saridele siap saji. Seluruh proses tersebut selesai pukul 5 dan Atok pun segera melaju ke gedangan memakan waktu antara 45 menit - 1 jam. Sesampai di gedangan, Atok segera mangkal di depan SD Gedangan buka lapaknya. Satu persatu pembeli di nanti khususnya pengguna jalan yang menjadi pelangganya.
Kadang karena tak kuasa menahan kantuk, Atokpun tidur sambil bersandar dipagar tembok SD. Sampai dengan pukul 1 siang, Atok mangkal disitu. Tiap terdengar kumandang adzan duhur, maka kaki Atok pun segera melangkah ke masjid untuk menunaikan sholat berjamaah. Gerobak ditinggal begitu saja seraya yakin Allah lebih utama.
Dalam sehari, Atok menjual tidak kurang dari 20 liter saridele. Jika laku semua, uang Rp.200eb berhasil dikantongi pulang. Namun, seringnya saat ini omset hanya berkisar Rp.150 ribu per hari. Dikurangi biaya produksi sekitar Rp.50ribu, maka kang Atok mendapat untung Rp 100rb. Untung itulah yang digunakan untuk menopang kehidupan sehari-hari seperti biaya makan anak istri, sewa kamar kos Rp.500rb/bln, bayar listrik Rp.200rb/bln dan keperluan lain.
Istrinya sendiri juga bekerja di sebuah warung dgn upah harian. Karena mepet alias tak bersisa,pernah dalam tiga tahun gak bisa lebaran pulang kampung kw wonogiri. Alhamdulillah, sudah setahun lebih kang Antok jadi peminjam dana bergulir tanpa riba yang kami kelola. Pembayaran lancar. Tak kalah penting ibadah juga lancar. Kini, ada lagi yang menggembirakan, selain jual saridele, dia juga jual kunyit asem buatan sendiri.
Sehingga di gerobaknya,selain saridele juga sedia minuman sehat tersebut. Menyenangkan jika melihat semangat Mas Atok. Berusaha istiqomah ditengah ketidakmenentuan keadaan. "Yang penting dijalani, disyukuri" ungkapnya jika ditanya apa rahasia bertahan jualan saridele selama 12 tahun.
Sepertinya kita perlu belajar dan belajar. Mensyukuri kehidupan dalam keadaan apapun.Bukankah cara bersyukur adalah dengan melihat orang yang ekonominya dibawah kita? Allahu a'lamu bishowab.
saridele, cara membuat saridele, pasar gedangan, lapindo, masjid tiban, jatimpark, batu night secret, bromo, masjidil haram, madinah, purisuryajaya, dana bergulir, masjid berdayakan jamaah, jogokaryan, masjid shalahudin puri surya jaya, masjid baitul mukminin vancover
Posting Komentar untuk "Biar Jualan Saridele, yang Penting Iman Tak Tergadai."